Kamis, 04 Desember 2008

Masalah TKI yang Bekerja di Luar Negeri

Oleh: Agus Sudono

BERDASARKAN catatan, jumlah penganggur dan calon penganggur di Indonesia terus membengkak. Menurut Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), penganggur terbuka tahun 2003 diperkirakan 10,13 juta jiwa dan tahun 2004 akan meningkat menjadi 10,83 juta jiwa.

Tahun 2005, dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 5,03 persen, penganggur penuh masih akan meningkat menjadi 11,19 juta orang. Adapun penganggur tak kentara (under employment), yaitu orang yang bekerja satu minggu kurang dari 35 jam, berjumlah sekitar 40 juta orang, ditambah pencari kerja baru tiap tahun sebanyak 2,1 juta sampai 3,16 juta jiwa.

Sementara itu, lapangan kerja baru yang tersedia tiap tahun hanya 1,1 juta sampai 1,75 juta, apalagi ditambah tiap tahun lebih kurang setengah juta mahasiswa lulus dari perguruan tinggi/universitas dan akademi dari semua disiplin ilmu. Semuanya memerlukan lapangan kerja baru. Ini adalah angka yang memprihatinkan serta harus menggugah semangat dan motivasi untuk bersama mengatasinya.

MENURUT Organisasi Buruh Internasional (ILO), tiap pertumbuhan ekonomi satu persen dapat menyerap kesempatan kerja sekitar 400.000 orang. Jadi, idealnya pertumbuhan ekonomi Indonesia seharusnya delapan persen sehingga bisa menyerap kesempatan kerja 3.200.000 orang setahun.

Dari jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 210.000.000 orang, bila angka pengangguran seperti tercermin dalam angka-angka itu, masalahnya amat serius, dan jika tidak ditangani serius, bisa menjadi ledakan sosial dahsyat dengan segala akibatnya.

Oleh karena itu, masalah pengangguran dengan segala konsekuensinya (antara lain meningkatnya rasa kurang harga diri, kriminalitas, KKN, prostitusi, kemiskinan, narkoba, dan kekerasan) perlu mendapat perhatian dan dipecahkan secara nasional oleh para pemimpin bangsa, khususnya elite politik ketika memasuki Pemilihan Umum 2004. Masalah pengangguran harus dipecahkan dengan program-program nyata.

Bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, salah satu cara yang bisa ditempuh guna mengurangi pengangguran di dalam negeri dan mendapatkan devisa luar negeri ialah dengan mengirimkan tenaga kerja Indonesia (TKI) bekerja ke luar negeri yang direncanakan, dikelola, dan diawasi secara baik. Hal ini juga dikerjakan negara berkembang lain, seperti Filipina, Vietnam, Sri Lanka, India, Pakistan, Turki, dan Maroko.

Pertanyaannya, bagaimana caranya mengirimkan TKI untuk bekerja di luar negeri secara baik? Artinya, TKI harus mendapat perlindungan, fasilitas, dan lainnya dari pemerintah serta perusahaan jasa TKI (PJTKI) mengingat TKI menghasilkan devisa untuk pembangunan nasional Indonesia, selain mengurangi pengangguran.

Untuk sekadar diketahui, dari tenaga kerjanya di luar negeri, Filipina rata-rata satu tahun menerima sekitar 6 miliar dollar AS. Menurut rencana, tahun ini Filipina menargetkan mendapat devisa 8 miliar dollar AS.

Agar TKI yang bekerja di luar negeri dapat menghasilkan dan memperoleh perlakuan lebih baik seperti tenaga kerja Filipina, perlu diambil langkah-langkah strategis dan konseptual.

Pertama, perlu dibentuk Badan Penempatan TKI di Luar Negeri (Indonesia Foreign Employment Board) yang keanggotaannya terdiri atas Ketua: Presiden RI/Wakil Presiden RI; Wakil Ketua: Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat; Pelaksana Harian: Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Mennakertrans); Anggota-anggota: Menteri-menteri terkait. a. Menteri Luar Negeri; b. Menteri Kehakiman dan HAM, dan lain-lain. Badan ini harus merumuskan kebijakan, termasuk masalah perekrutan, training, penempatan, pengawasan, dan lainnya.

Ketua harus dipimpin langsung presiden/wakil presiden guna memudahkan koordinasi dan undangan kepada menteri-menteri terkait. Pengalaman menunjukkan, rapat-rapat koordinasi tentang TKI kurang berjalan optimal, karena bila Mennakertrans yang mengundang sebagai ketua, para menteri terkait biasanya tidak datang, tetapi mewakilkannya kepada orang kedua/ketiga. Akibatnya, tidak dapat diambil keputusan optimal. Dalam badan itu seyogianya juga didudukkan wakil dari unsur pengusaha, buruh, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan pakar yang dianggap perlu.

Kedua, dalam rangka memberi perlindungan bagi TKI di luar negeri, perlu dibuat nota kesepahaman (MOU) antara Pemerintah Indonesia dan pemerintah negara penerima TKI.

Ketiga, setiap pengiriman dan penempatan TKI harus dibuat kontrak kerja (kesepakatan kerja bersama), baik secara perseorangan maupun kolektif, yang dilakukan perusahaan pengirim TKI dengan perusahaan penerima TKI, dan dilaporkan kepada Mennakertrans serta Kedutaan Besar RI/perwakilan Indonesia di negara yang bersangkutan.

Keempat, di negara di mana TKI ditempatkan agar diadakan Atase Perburuhan untuk ikut membantu mengawasi dan mengatasi aneka masalah TKI di luar negeri sesuai dengan kebutuhan.

Kelima, tiap TKI wajib diasuransikan sehingga bila terjadi kecelakaan/kematian, biaya menjadi tanggungan asuransi itu.

Keenam, pendidikan/training untuk meningkatkan kualitas TKI dan perlu spesialisasi mengenai pekerjaan-pekerjaan yang akan ditangani di luar negeri.

Ketujuh, diperlukan undang-undang yang mengatur masalah penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri.

Kedelapan, perlu adanya National and Regional Man Power Planning Policy (Kebijaksanaan Perencanaan Ketenagakerjaan Nasional dan Daerah) di mana masalah TKI ke luar negeri merupakan bagian dari perencanaan tersebut.

Kesembilan, seyogianya Pemerintah RI segera meratifikasi Konvensi ILO tentang Migrant Workers (Pekerja Migran) yang di dalam konvensi itu antara lain ada ketentuan, tiap tenaga kerja migran harus diperlakukan sama (jam kerja, upah, cuti, dan lain-lain) dengan pekerja asli negara penerima. Dengan demikian, bila ada masalah TKI di luar negeri, Pemerintah RI bisa meminta ILO membantu menyelesaikannya.

Kesepuluh, perlu dibentuk Tim Asistensi Hukum Nasional yang selalu standby sehingga tiap saat dapat dikirim ke luar negeri untuk memberi bantuan hukum kepada TKI yang sedang menghadapi masalah di luar negeri.

Kesebelas, aneka pungutan liar (KKN) yang membebani TKI sejak persiapan keberangkatan ke luar negeri sampai pulang ke kampung halamannya harus betul-betul diberantas.

Kedua belas, tiap TKI diwajibkan mengirimkan sebagian penghasilannya (dalam persentasi tertentu) kepada keluarga/sanak saudaranya yang ditunjuk. Mereka yang paling banyak dapat menabung upahnya di luar negeri dan dikirim ke Indonesia diberi insentif berupa hibah rumah sangat sederhana atau rumah sederhana (RSS/RS), misalnya bagi 10 pengirim terbanyak, dalam rangka mendidik mereka agar gemar menabung dan dijadikan modal bila mereka pulang ke Indonesia.

SARAN ini diajukan setelah banyak mempelajari pengiriman TKI ke luar negeri baik dari Maroko dan Turki ke Eropa maupun pengiriman tenaga kerja dari Filipina khususnya.

Kebetulan penulis kenal dekat dengan Mr Blas Ople, mantan Menteri Perburuhan Filipina yang bersama-sama duduk di Badan Pimpinan ILO, 1972-1978. Mr Blas, yang kini menjadi Menteri Luar Negeri Filipina, sebenarnya arsitek sistem pengiriman tenaga kerja ke luar negeri yang dianggap berhasil.

Tahun 1969, selaku Ketua Umum Gabungan Serikat Buruh Islam Indonesia (Gasbiindo), penulis mendapat tugas dari Pemerintah/Presiden RI untuk merekrut dan mengirimkan 1.500 TKI ke Sabah, sesuai permintaan Pemerintah Malaysia, dengan batas waktu empat bulan, dan berhasil menyiapkan tenaga kerja berpendidikan SD hingga sarjana.

Keberangkatan mereka menggunakan Kapal Pelni Bogowonto. Dari 1.500 tenaga kerja itu, mereka disebar ke berbagai lapangan kerja, antara lain menjadi teknisi pesawat terbang, (akibat PHK besar-besaran di Garuda saat itu), di perkebunan karet dan kelapa sawit, industri pengolahan karet dan kelapa sawit, guru-guru agama, guru SMP dan SMA, serta dosen di perguruan tinggi.

Kita amat prihatin membaca berita tentang penderitaan TKI di luar negeri. Apalagi kini ada 48.000 TKI ilegal menunggu dipulangkan ke Indonesia. Belum lagi TKI yang dicambuki di Malaysia, betul-betul merendahkan harkat, martabat, dan derajat manusia Indonesia. Ini harus diakhiri.

Keamburadulan pengiriman TKI merupakan kesalahan banyak pihak, sebagian oknum aparat Pemerintah RI yang mempraktikkan KKN di bidang pengiriman TKI, sebagian oknum PJTKI yang kurang bertanggung jawab atas kesejahteraan dan keselamatan TKI dan lebih mementingkan keuntungan. Di lain pihak, oknum-oknum di Malaysia ada yang melindungi dalam perekrutan TKI ilegal. Alasannya, gaji TKI ilegal lebih murah, mudah ditakut-takuti dan diperas. Bila ada TKI yang tidak tunduk, akan dilaporkan kepada polisi Malaysia.

Untuk mengatasi hal itu, Pemerintah RI dan PJTKI harus berani membela, melindungi, dan memperjuangkan perbaikan nasib, syarat-syarat kerja, dan penghidupan yang layak bagi TKI di luar negeri.

Agus Sudono Pengamat Masalah Perburuhan/Ketenagakerjaan, mantan Wakil Ketua DPA

Sumber: KOMPAS
URL: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0312/08/opini/687527.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar